Menyikapi Kesalahan
https://ajwa-media.blogspot.com/2013/11/menyikapi-kesalahan.html
Oleh : Aisyah Hana
Saya tidak tahu apakah judul ini sesuai dengan tulisan ini karena terus terang sayapun bingung untuk memberikan judul he…. Tapi bagaimanapun, insya Allah ada hubungannya.
Cuplikan video sekelompok pelajar yang mempermainkan
gerakan shalat. (Facebook)
Seperti biasanya saat pertama kali sampai di kantor. Setelah melakukan kerjaan rutin pada awal hari saya biasanya membuka jejaring sosial Facebook. Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai. Saya mengecek Group wajihah saya di kampus dulu karena ternyata banyak pemberitahuan yang belum saya buka. Kemudian saya tertarik pada postingan salah satu anggota group yang ia beri komentar “Innalillah”. Ternyata artikelnya juga berasal dari Dakwatuna. Saya baca dengan seksama dan dengan hati yang sulit untuk saya gambarkan perasaan saya saat membaca tulisan itu. Kemudian saya membaca beberapa komentar pada artikel itu yang begitu sangat banyak. Pembaca bisa membacanya sendiri di Dakwatuna ini. Judulnya “Ini dia kondisi pelajar SMA yang Mempermainkan Shalat”. Kemudian dengan rasa ingin tahu yang begitu besar saya mencari video itu di YouTube. Saya melihat sendiri video itu dan saya merasa sangat sedih melihatnya. Ya…memang sangat menyakitkan melihat video itu dan tidak bisa membayangkan bagaimana pelajar kelas 3 SMA bisa mempermainkan shalat seperti itu, di mana shalat itu adalah penghubung kita kepada Sang Pencipta. Tapi di sisi lain ketika saya melihat video itu. Di antara perasaan “berkecamuk” itu saya mengingat doa Rasulullah ketika tubuh beliau luka dihantam batu dan mukanya belepotan lumpur serta ludah orang-orang Quraisy yang menentang Dakwahnya. “Ya Allah, berikanlah mereka petunjuk karena sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Itulah yang saya pikirkan untuk pelajar-pelajar itu. Saya merasa mereka adalah pelajar-pelajar yang belum tahu akan hakikat dan makna Shalat itu sendiri, Yang mereka tahu bahwa Shalat adalah rutinitas ibadah yang tidak punya Ruh sama sekali karena mereka memang belum bisa merasakan Ruh Shalat itu, mereka hanya tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan karena memang mereka tidak mengerti, mereka hanya sebagian dari banyaknya umat Islam yang tidak paham dengan agamanya, mereka hanya sebagian dari umat Islam dan manusia secara umum yang tidak tahu arah dan tujuan hidupnya sebenarnya. Mereka hanya sebagian orang yang tidak tahu Tuhannya. Mereka hanya sebagian korban dari kemajuan teknologi yang Subhanallah ketika kita tidak bisa menggunakannya (kemajuan teknologi) dengan positif maka akan memberikan dampak negatif yang begitu besar pada kita. Maka, kenapa itu bisa terjadi??? Itu adalah suatu pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua. Mungkin saja dengan melalui mereka, Allah menegur kepada kita bahwa “ada yang salah dengan apa yang kita kerjakan”, Allah memperlihatkan kepada kita akan “kondisi” sebagian dari saudara-saudari kita. Allah mengingatkan kita akan “Tugas mengajak kebaikan saudara-saudari kita” seperti dalam firmannya QS. 3: 104:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Di antara perasaan-perasaan yang saya rasakan saat melihat video itu, rasa Sedih, kecewa, kaget, dll. Yang paling dominan dari perasaan itu adalah rasa “Sedih” dan “prihatin” untuk mereka. Sedih dan prihatin kepada mereka karena merekalah yang melalui kejadian itu. Dan saya sangat bersyukur karena bukan saya ataupun orang-orang yang saya sayangi yang melalui kejadian itu karena kita semua tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah Maha berkehendak atas Segala sesuatu. Allah yang Maha Berkehendak atas semuanya seperti dalam firman-Nya QS 6: 125:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya [503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Kembali kepada “kasus pelajar” itu. Saya membaca komentar dalam artikel tersebut, dan membaca sebagian komentar di Video YouTube itu. Ada yang mencaci, ada yang prihatin karena mereka dikeluarkan dan dikucilkan, dan ada yang mendukung dengan hukuman yang mereka terima itu. Di antara yang mendukung itu berkomentar yang intinya adalah terkadang kita perlu dicambuk agar kita sadar akan kesalahan kita, kita perlu jatuh untuk menyadarkan kita yang terlupa. Sangat benar apa yang dikatakan oleh orang berkomentar itu. Sayapun setuju. Tapi yang prihatin atau tidak setuju dengan hukuman mereka juga benar. Mereka berkomentar yang intinya adalah pelajar-pelajar itu harusnya dirangkul, dibina, bukan malah dikucilkan. Itupun sangat benar. Dan yang menjadi renungan saya setelah membaca semua itu adalah tentang “Pembinaan” dan “bagaimana menyikapi suatu kesalahan seseorang”, apakah dengan “mencambuk” mereka dengan harapan mereka bisa sadar atau mengelus kepala mereka sambil memberikan pengertian. Semuanya memiliki konsekuensi sendiri. Ketika kita mencambuk mereka, konsekuensi buruk yang mungkin terjadi adalah mereka bukannya sadar tapi malah makin parah dan makin menjauh. Tapi ketika kita “lunak” terhadap mereka. Konsekuensi buruknya adalah ketika mereka ternyata memanfaatkan ke”lunakan” kita. Saya yakin pembaca pernah merasakan kebingungan yang sama terhadap masalah ini. Terlebih pada orang tua. Cukup lama saya merenungi hal tersebut. Mungkin karena kebetulan saya punya adik remaja yang sekarang ini ikut dengan saya. “Ketika dia melakukan kesalahan, apa yang harus saya lakukan? Menghukumnyakah? Membiarkan saja? Atau seperti apa??? Bingung dengan pertimbangan-pertimbangan yang tadi”. Tapi kemudian saya teringat akan nasihat “MR”saya dulu bahwa. Apapun yang kita lakukan, lakukan dengan hati yang ikhlas dan penuh kasih sayang. Yakinlah bahwa Kasih sayang dan keikhlasan yang kita lakukan kepada mereka, itu akan sampai kepada mereka suatu saat nanti. Ingatlah bahwa “hati” manusia itu tidak pernah bohong dan pada dasarnya hati manusia itu fitrah, hanya karena dosalah yang mengurangi kefitrahan itu. Jadi seburuk-buruk seseorang, ketika hatinya masih dihidupkan oleh Allah maka yakinlah mereka bisa mendengar maksud kita. Kasih sayang itu tidak harus dalam bentuk yang menyenangkan. Kalaupun ternyata kita harus mengambil langkah “mencambuk” mereka maka itu bentuk kasah sayang kita untuk menyadarkan mereka. Oleh karena itu, sebelum kita “mencambuk” mereka, mari kita perbaiki niat kita dulu. Yakinkan dulu pada diri kita bahwa kita “mencambuk” mereka benar-benar berharap agar mereka bisa menyadari kesalahan mereka bukan karena kita sedang emosi dan sangat marah kepada mereka. Dan kalaupun ternyata kita mengambil langkah ke-dua yaitu “lunak” kepada mereka. Maka hapuslah pikiran-pikiran tentang mereka yang akan memanfaatkan ke”lunak”an kita. Bahkan kalaupun ternyata terjadi seperti itu maka yakinlah bahwa suatu saat nanti hati mereka akan tersentuh dengan kasih sayang dan keikhlasan kita kepada mereka.
Saya pribadi berprinsip bahwa “sebenarnya anak-anak itu tidak bersalah, yang bersalah adalah kita sebagai orang tua atau orang yang lebih tua karena kitalah yang sudah mengerti, kitalah yang sudah melewati masa seperti mereka yang kita tahu bahwa masa mereka memang masa pembelajaran, masa di mana rasa ingin tahu sangat tinggi”. Oh iya, ini di luar kasus Pelajar-pelajar itu. Prinsip ini tentang pemikiran membina seseorang agar saya bisa lebih bersabar dan lebih ikhlas. Jadi itu adalah prinsip pribadi. Tentang siapa salah dan siapa yang harus bertanggung jawab dengan kejadian tersebut, saya rasa bukan saatnya untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Yang paling penting adalah mengambil hikmah dari kejadian itu. Penilaian tentang salah benarnya mereka dikucilkan. Saya rasa pembaca juga memiliki penilaian dan pendapat sendiri.
Lewat tulisan ini, saya ingin memberikan apresiasi yang sangat besar untuk para Orang Tua yang begitu sabar dan ikhlas untuk mendidik anak-anaknya yang saya sangat yakin bahwa itu sesuatu yang sangatlah berat. Dan saya juga ingin mengingatkan bahwa jangan juga hanya menyalahkan “orang tua” karena tidak semua orang tua mengerti, terlebih orang tua yang tidak memiliki pendidikan. Sayangilah mereka, utamanya Ibu. Ibu sudah mempertaruhkan nyawa mereka untuk melahirkan kita, ibu telah merasakan rasa “sakit” yang begitu pedih dalam melahirkan kita. Jadi seperti apapun kondisi mereka, mereka tetap Orang Tua kita dan kita harus bersyukur memiliki mereka sebagai orang tua.
Dan itulah sebabnya perempuan harus memiliki pengetahuan, bukan hanya untuk mendapatkan gelar atau suatu pekerjaan tapi itu adalah bekal untuk mendidik anak-anak mereka suatu saat nanti. Dan pengetahuan itu tidak harus dari bangku sekolah tapi semua yang terjadi di lingkungan kita adal suatu sarana pembelajaran termasuk kasus pelajar-pelajar ini.
Akhir dari tulisan ini, saya ingin saling mengingatkan khususnya untuk saya pribadi bahwa semua yang kita lakukan kita niatkan untuk mendapat Ridha Allah SWT, mendidik anak dan kasih sayang kepada mereka adalah karena Allah SWT jadi jangan terlalu kecewa jika ternyata apa yang mereka lakukan tidak seperti yang kita harapkan. Dan jangan terlalu terbebani dengan tugas “Pembinaan” itu. Lakukan yang terbaik, bagaimanapun hasilnya, itu sudah di luar kendali kita. Manusia hanya bisa berencana dan berusaha, tapi yang Maha Berkehendak adalah Allah SWT. Seperti dalam Firman-Nya QS. 5: 99.
مَّا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ ﴿٩٩﴾
“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Seperti Rasulullah dan para nabi-nabi sebelumnya bahwa tugas kita hanya menyampaikan dan hasilnya kita serahkan kepada Sang Maha Kuasa… Wallahu’alam.
[Dakwatuna]
- Dilarang Berkomentar SARA
- Dilarang Berkomentar KOTOR